cinta pada tamparan pertama

1
Oleh Suyatna Pamungka


Jojo jomblo, begitu teman-teman menyebutnya. Ada juga yang menyebutnya Triple J. Terserah saja, seenaknya. Sepertinya Jojo juga enjoy menyandang gelar jomblo yang diberikan teman-temannya. Cowok yang… yah, boleh dibilang rada cakep ini, memang sudah berkomitmen untuk menjomblo selama masih SMA. 

Banyak sudah cewek-cewek dibuat frustrasi lantaran selalu diacuhkannya begitu mendekati. Kemudian cewek-cewek lebih mengenalnya sebagai cowok yang sok jual mahal, sombong, nggak romantis, dan sebagainya. Begitu banyak julukan yang mampir ke dirinya, semua bermula dari sikapnya yang acuh itu. Dia memang berbeda dengan jomblowan-jomblowan lain. Sebenarnya Jojo, atau Jo, senang tebar pesona, gayanya selalu stylish, temannya keren-keren, kalau nggak keren secara penampilan, ya keren secara wawasan yang kekini-kinian gitu, dan dia lebih suka pada yang sepaham.


Dia begitu mendapat nama bagi setiap penghuni SMA Timur Jauh 2 ini. Sebuah SMA terfavorit sekaligus SMA termahal di kota ini. Jojo memang anak kelas dua tapi temannya menyebar di setiap level kelas. Siapa yang nggak kenal Jo, anak dirut perminyakan kondang di negeri ini? Rasanya terlalu kurang gaul deh, kalau nggak kenal nama sekaliber Jonanta Rafilan. Liburan semester II ini, Jo lebih memilih menghabiskan waktunya nonton TV di rumah atau sekadar bermalas-malasan. Yang jelas, dia sudah terlalu malas untuk berlibur. Semua tempat terbaik pernah dia kunjungi. Saat dia sedang menikmati pertandingan golf di saluran ESPN, tiba-tiba ponselnya bernyanyi. 

“Ya?” Jo menjawab telepon. “Kapan registrasi, Jo?” terdengar suara Erwin, temannya, di seberang. “Besok. aku ke tempatmu dulu.” Klik! Begitulah. Singkat, nggak padat-padat amat, dan nggak jelas-jelas amat juga.


Besoknya, Jo dan Erwin mendatangi ruang TU untuk registrasi akademiknya. Suasana masih sepi, hanya beberapa anak yang sudah melakukan registrasi. Mungkin karena masih ada waktu panjang hingga dua minggu ke depan. Jo mengamati siapa-siapa saja yang menjadi teman satu kelasnya nanti. Dia terkejut begitu melihat nama Jon Barota masuk di kelasnya. Joba, panggilan Jon itu, lebih dikenal sebagai musuh besar Jo. Mereka selalu berebut kekuasaan, selalu bersaing memperlihatkan siapa yang terbaik di Timur Jauh. Berbeda dengan Jo, Joba dikenal suka gonta-ganti pacar. Istilah kerennya player.

***

Liburan telah usai, kini hari-hari sekolah aktif kembali. Santo Lucas ramai dengan cerita seru setiap pagi. Apalagi ini baru mulai tahun ajaran, para siswa hampir belum saling mengenal satu sama lain karena dulunya tidak satu kelas. SMA Timur Jauh memiliki 30 kelas. Kelas I, II masing-masing 10 kelas, kelas III dibagi 3 jurusan, 4 kelas untuk IPA, 4 kelas IPS dan sisanya Bahasa. Di kelas yang terakhir inilah, Jo akan menjalani hari-hari persaingan dengan rivalnya, Joba . 
Seperti biasa Jo berangkat lebih siang dari yang lain, hampir selalu terlambat. Padahal rumahnya hanya berjarak dua kilometer saja dari sekolah. Itupun ditempuh dengan motor gedenya. Mungkin maksudnya mau tebar pesona atau ingin punya ciri khas sendiri. Kali ini pun begitu, saat memasuki gerbang sekolah, dia harus membayar lima puluh ribu rupiah kepada satpam Gino. Sogokan biar bisa sukses masuk. Bukan hanya hari ini tentunya, mungkin satpam Gino telah menerima 720 kali lima puluh ribuan darinya. Karena sudah dua tahun ini Jo kalah cepat datang ke sekolah dibanding gerakan satpam Gino yang menutup gerbang.


Suasana kelas tenang, hanya beberapa kelas I yang terlihat masih duduk-duduk di teras karena belum ada wali kelas. Kelas Jo juga tampak hening, nggak ada lagi kedengaran jeritan cewek-cewek ganjen yang biasanya keluar tiap Jo lewat. Jo mengetuk pintu tanpa ragu-ragu dan tanpa menunggu dibukakan, kepalanya langsung melongok ke dalam kelas. 

“Selamat pagi, Pak!” sapa Jo pada guru sejarah dengan mimik memelas. Fiuh! Untunglah dia memilih jurusan Bahasa, jadi nggak ketemu lagi dengan pelajaran biologi yang diberikan Bu Ida. Kalau Bu Ida ngelihat Jo telat lagi seperti ini, bisa-bisa ia memberi ‘les privat’ he he he… Ya… mungkin disuruh membaca buku dengan vokal diganti huruf “i” semua atau menghitung butiran nasi pada makan malamnya selama tujuh hari berturut-turut atau sekadar duduk di meja guru sementara Bu Ida duduk di bangkunya. Pokoknya konyol dan nggak meaning deh.


Jo menganggap karena nilai biologinya merah, dia tidak bisa masuk IPA. Meskipun kimia, fisika, dan matematikanya di atas delapan semua. Begitulah aturan sekolah, di antara keempat pelajaran itu tidak boleh bernilai merah. Apalah daya Jo ketika Bu Ida memberinya nilai itu. 

Dia tidak dapat tempat duduk lagi, satu-satunya yang tersisa hanyalah di depan meja guru. Ada seorang cewek yang telah menempatinya, Jo pun terpaksa duduk di situ. “Hei aku Rara, pindahan dari SMA Timur Jauh Surabaya,” cewek itu memperkenalkan diri. Senyumnya lebar penuh pengharapan. Jo hanya menengok dua detik lamanya, matanya seolah bertanya “Siapa sih, Lo?” lalu berbalik lagi menghadap whiteboard yang bertuliskan kerajaan-kerajaan lama di Indonesia. Rara yang di sebelahnya pun bete.


“Jo itu jomblowan sejati. Dia tidak sembarang terima teman, jangan heran kalau dia menolak kamu saat diajak kenalan. Begitulah Jo, dia selalu menatap seseorang dengan sejenak, lalu memutuskan cocok atau tidak,” ujar Nindi, cewek yang satu kelas dengan Jo dan Rara memberi penjelasan pada teman barunya. Rara hanya mengangguk keheranan. 

Suatu hari, saat jam istirahat pertama, Joba menghampiri Rara yang duduk di sebelah Jo. Selamanya begitu memang, mereka sudah mempunyai pasangan duduk masing-masing.


“Ehm! Ke kantin yuk, Ra!” Joba menepuk pundak kanannya dengan lembut. Rara nggak ngerti maksud Joba mengajaknya makan tapi dia mengangguk setuju. “Aku juga udah terlalu males duduk di sini,“ katanya. Jo hanya diam walau dari matanya tampak kilat tak suka. Aneh, kenapa kali ini dia ngerasa Rara telah direbut darinya, ya? Mereka meninggalkan Jo sendirian. 

“Kurang ajar! Ini penghinaan!!” geramnya dalam hati. Segera dia berlari keluar kelas mencari teman genknya. Akan dia ceritakan apa yang baru saja membuatnya hampir merobohkan gedung sekolah ini. Akan disusun siasat yang jitu untuk menjatuhkan Joba dan menenggelamkannya, selamanya.


“Wah, kalau gitu caranya kamu kalah, Jo!” sergah Reza, anggota genknya. “Bener Jo. Mending cari cara lain aja!” yang lain mengiyakan. “Terus, aku harus bagaimana?” ujar Jo, menyimpan sementara emosinya. “Triple J adalah seorang jomblo, sementara Jon Barota adalah sang player yang lihai. Jelas saja kamu nggak punya tempat di hati cewek-cewek. Mereka pasti lebih ngikutin yang playboy daripada jomblowan kayak kita,” Reza memberi analisa yang nggak ketahuan apa maksudnya. “Dengan kata lain, kamu harus melepas gelar jomblo dulu, baru kamu menang atas Joba,” tambahnya. “Nggak!! Aku yakin dengan predikat jomblo ini, aku bisa mempermalukan Joba!” emosi Jo meluap-luap.

***

Merasa masih kalah dari saingannya, Jo menyusun siasat jitu. Kali ini dia meminjam mobil ayahnya buat pasang muka. Dengan strategi yang sudah diracik sedemikian matang tadi malam, Jo memasang mimik memelas. ”Ehh, Ra. Pulang sekolah mau ke mana? Ada acara?” tanyanya pada teman sebangkunya itu. Rara tampak sedikit terkejut dengan sapaan Jo yang nggak biasanya. Walau melihat ada yang janggal, dia menjawab juga. “Langsung pulang sih. Kenapa Jo?” 
”Hmm… kalau gitu ntar pulang bareng, mau nggak? Aku antar?” Rara makin yakin, ada yang kurang beres. Tapi, dia malah mengiyakan ajakan Jo. Berhasil! Jo pun tinggal menyusun rencana, agar Joba melihat Rara pulang dengannya hari ini.


Sejauh ini triknya berjalan mulus-mulus saja. Sesuai yang dijanjikan, mereka pulang bersama-sama. Di tengah jalan, Jo membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan. “Makan dulu ya, laper.” Jo tak membiarkan Rara menolak ajakannya. Rara setuju. Mereka duduk di meja pojok, pilihan Jo, agar leluasa melihat siapa-siapa yang mampir ke rumah makan itu. Orang yang ditunggunya datang juga, Joba dengan langkah mantap memasuki rumah makan tanpa seorang teman pun. Bergegas menghampiri Jo dan Rara yang tengah asyik menunggu pesanan. 

Jo pura-pura tidak melihat, Joba menarik kerah baju agar berdiri. Tangan lainnya terkepal siap memukul. Rara kebingungan.

“Eh, apa maksudmu nantang aku di rumah makan ini. Nih, aku sudah datang, sendirian! Kamu mau apa?!!” Joba memaki dan membentak-bentak Jo. Jo tenang-tenang saja, tak sedikitpun terpancing emosi. “Kamu kalah Joba. Lihat! Rara sudah jadi milikku,” Jo berbisik di telinga Joba. Joba berpaling ke arah gadis yang dimaksud Jo dengan sangat terkejut. Dia sempat ingin mengatakan sesuatu tapi urung dilakukan. Seketika itu juga, dia pergi meninggalkan mereka. Jo mencoba tersenyum ketika Rara menatapnya terheran-heran. Dia kembali menempati kursi sementara Rara masih berdiri.


”Oh, jadi maksudmu ngajak aku pulang bareng biar kamu merasa menang dari Joba? Itu aja? Hah! Aku pikir, kamu sudah mulai bersahabat, Jo,” kata Rara ketus. “Terus kenapa? Biar gimanapun, Joba nggak akan bisa ngalahin Jojo!” balas Jo, terpaksa jujur karena siasatnya terlanjur ketahuan oleh Rara. “Sorry, Jo, aku nggak bisa terima perlakuan ini. Aku pulang!” Jo segera menarik tangan Rara. “Cuma karena masalah kecil ini?” “Masalah kecil kamu bilang? Kamu sudah mempermalukan aku, ngerti?” “Cuma begini mempermalukan? Kalau kamu ditelanjangi di depan umum baru…” PLAKK!!!



Belum selesai kalimat Jo terucap, sebuah tamparan mendarat sukses di pipi kirinya. “Tolong ngertiin perasaan aku, Jo! Aku berusaha ngertiin sifat kamu yang nggak jelas itu karena aku menganggap kamu sama seperti teman lain. Mau mereka sebut kamu ‘pembunuh berdarah dingin’, cowok pendendam, si cuek yang kaya raya, aku nggak peduli. Aku tetap mau berteman, tapi kamu… kamu sudah merusaknya, Jo!” Rara pergi meninggalkan Jo sambil berlari keluar rumah makan. Jo hanya terdiam dan tidak mampu berbuat apa pun dalam keadaan ini. Sebelumnya, nggak ada tuh kejadian yang benar-benar menyentuh perasaannya seperti ini. Malamnya, Jo tidak bisa tidur. Gelisah berbaring di kasur empuknya, di dalam kamar dengan jendela terbuka dan hanya disinari bulan yang sedang penuh. Dia terus teringat tamparan Rara yang dirasakannya, sangat hangat. Dia malah menyukai tamparan itu. Entahlah, kenapa dia senekat itu menantang Joba demi anggapan mampu merebut Rara dari hati Joba. Dia takut, kalau Rara malah akan semakin akrab dengan Joba nantinya. Sepertinya, kali ini dia bukan memikirkan kalah dari Joba. Lebih dari itu, dia takut sekali Rara berpacaran dengan Joba. “Apakah aku sudah jatuh cinta pada Rara?” katanya malam itu. “Ah! Aku kan biasa nyuekin dia… tapi aku takut banget kehilangan dia.” Makin lama, matanya terpejam dan dia bermimpi indah bersama Rara.

***
“Aku minta maaf. Aku nggak tahu gimana caranya ngomong ini ke kamu. Kemarin itu memang bodoh banget. Aku suka kamu tapi aku nggak tahu harus gimana…” Rara hanya bengong ketika tiba-tiba Jo menghampirinya di depan gerbang sekolah. Biasanya Jo datang paling akhir, tapi ini masih setengah jam lagi masuk sekolah, dia sudah ada. “Kamu sehat, Jo?” “Kamu maafin aku nggak?” Rara diam sejenak. Lalu mengangguk dan mengiyakan dengan mantap. “Gara-gara kamu tampar aku kemarin, aku ngerasa kalau aku suka sama kamu,” kata Jo tanpa ragu-ragu. “Apa ini kebiasaan kamu? Langsung ke pokok permasalahan?” balas Rara. “Itulah aku. Nggak suka basa-basi,” jawab Jo. “Kita lihat nanti saja, ya!” “Tapi aku suka kamu, Ra.” “Terus?” kata Rara sambil pergi meninggalkan Jojo. “Terus? Iya ya… terus apa?” ucap Jojo sambil menggaruk-garuk kepalanya.


Tinggalkan komentar